Cerpen Penderitaan
Derita Tanpa Batas..
Aroma kematian masih menguap ke segala penjuru arah, suasana duka sampai saat ini terus begeriliya menyesakkan dada. Ibunya masih di sini tapi sudah kaku sejak dini hari. Dian menangisi ibunya yang sudah di balut kain kafan dan tertimbun tanah kuburan. Semua orang menatap iba kepadanya dan ketiga adiknya karena terpasung pada keadaan yang menyiksa.
Ayahnya pecandu malas jadi tak bisa diharapkan, bahkan ketiga adiknya malah dibebankan pada sanak saudara.
“Abang tetap di sini sama ayah! Adik-adik yang lain tinggal di rumah bude.” ujar ayah tanpa wibawa.
Dian hanya diam bahkan nyaris tak bergerak ketika mendengar mantra kutukkan itu.
“Kenapa harus aku? kenapa? kenapa harus aku di antara ketiga saudaraku?” gumam Dian dalam hati.
Semakin lama bertambah gerah, setiap hari ayahnya hanya bisa marah padahal fakta menunjukan bahwa semua adalah salah ayahnya. Waktu mendidiknya menjadi pemberontak tanpa daya. Dian hanya bisa menumpuk amarah yang sudah mengumpal bahkan mengendap melukai kewarasannya. Tak ada lagi rasa hormat karena tertimbun benci yang sudah lama berkarat.
Hingar-bingar pesta menyeruak memecah keheningan tetapi ayahnya tak kunjung terlihat. Sempat tak terpikirkan tapi lama-kelamaan rasa khawatir akhirnya berkunjung datang.
Pesta usai dan terdengar kabar duka yang seharusnya menyakitkan tapi malah sebaliknya. Kabar kematian ayahnya memberi sensasi membahagiakan. Ayahnya telah gugur. Kalah perang dengan j*di dan bermalas-malasan. Ayahnya meninggal di tempat tersunyi tanpa jendela bahkan ventilasi. Mungkin nyawa ayahnya kini sedang tersesat karena pergi tanpa doa dan tangis keluarga.
Perasaan aneh hinggap menjalar. Dian tersadar lalu menangis tapi bukan menangisi raga ayahnya tapi menangisi adegan apalagi yang harus dilakoninya. Hanya satu adegan yang bisa dilakoninya yaitu duduk manis lalu mengais iba dan belas kasih sanak saudara karena dia ditinggal mati tanpa harta.
Comments
Post a Comment